Filsafat - Ruang Lingkup Hermeneutika

Filsafat - Ruang Lingkup Hermeneutika - Hallo sahabat Demasyuri, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Filsafat - Ruang Lingkup Hermeneutika, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Filsafat, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Filsafat - Ruang Lingkup Hermeneutika
link : Filsafat - Ruang Lingkup Hermeneutika

Baca juga


Filsafat - Ruang Lingkup Hermeneutika

Ruang Lingkup Hermeneutika
Apakah yang dibahas hermeneutika? Sebagian ada yang menjawabnya dengan sederhana bahwa hermeneutika adalah model pemikiran dan perenungan filosofis yang bertujuan untuk menjelaskan pengertian pemahaman (verstehen understanding) dan ia berusaha menjawab pertanyaan, “Apa yang akan dibuat oleh sebuah makna kepada yang memiliki makna?” Bisa jadi sesuatu itu berupa bait syair atau teks undang-undang, perbuatan manusia, bahasa, kultur asing atau personal.

Ada tiga pendapat mengenai hermeneutika:
Hermeneutika khusus (regional hermeneutics) yaitu hermeneutika sebagai cabang dari disiplin ilmu. Setiapmedan ilmu mempunyai hermeneutikanya masing-masing dan digunakan untuk medannya yang khusus sesuai bidang ilmunya.

Hermeneutika umum (general hermeneutics) yaitu hermeneutika yang tidak terkait dengan cabang ilmu-ilmu tertentu. Hermeneutika ini menggabungkan semua cabang ilmu untuk memahami. Pelopornya adalah Freidrich Schleirmacher (1768-1834 M). Hermeneutika ini tersusun darai kaidah-kaidah dan dasar-dasar umum yang berisi berbagai macam ilmu pengetahuan yang mengontrol proses pemahaman secara benar.

Hermeneutika filsafat (hermeneutical philosophy). Obyeknya bukan teks yang dipahami, tetapi pemahaman itu sendiri yang ditempuh dengan perenungan filosofis. Hermeneutika ini tidak mengenal kaidah-kaidah untuk mencapai kebenaran pemahaman, melainkan tidak mengenal kebenaran melalui metode ilmiah.

Kata “hermeneutika”, dalam bahasa Indonesianya yang kita kenal, secara etimologi berasal dari istilah Yunani, dari kata kerja hermeneuein, yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia, “interpretasi.[1] Dari asal kata itu berarti ada dua perbuatan; menafsirkan dan hasilnya, penafsiran (interpretasi), seperti halnya kata kerja “memukul” dan menghasilkan “pukulan”. Kata tersebut layaknya kata-kata kerja dan kata bendanya dalam semua bahasa. Kata Yunani hermeios mengacu pada seorang pendeta bijak, Delphic. Kata hermeios dan kata kerja yang lebih umum hermeneuein dan kata benda hermeneia diasosiasikan pada Dewa Hermes, dari sanalah kata itu berasal.

Dewa Hermes mempunyai kewajiban untuk menyampaikan pesan (wahyu) dari Jupiter kepada manusia. Dewa Hermes bertugas untuk menerjemahkan pesan Tuhan dari gunung Olympuske dalam bahasa yang dimengerti oleh manusia. Jadi hermeneutika ditujukan kepada suatu proses mengubah sesuatu atau situasi yang tidak bisa dimengerti sehingga dapat dimengerti (Richard E. Palmer). Ada tiga komponen dalam proses tersebut; mengungkapkan, menjelaskan, dan menerjemahkan.

Filsafat Yunani kuno sudah memberikan sinyal mengenai “interpretasi”. Dalam karyanya Peri Hermeneias atau De Interpretatione, Plato menyatakan “kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita dan kata yang kita tulis adalah simbol dari kata yang kita ucapkan”. Sehingga dalam memahami sesuatu perlu adanya usaha khusus, karena apa yang kita tafsirkan telah dilingkupi oleh simbol-simbol yang menghalangi pemahaman kita terhadap makna.

Dari uraian di atas ada tiga kesamaan antara tafsir Al-Qur’an dengan hermeneutika. Kesamaan itu tercakup dalam tiga unsur utama hermeneuein yang mana dalam tafsir Al-Qur’an dapat dimasukkan dalam kategori kegiatan hermeneuein tersebut. Pertama, dari segi adanya pesan, berita yang seringkali berbentuk teks, tafsir Al-Qur’an jelas menafsirkan teks-teks yang terdapat dalam Kitab Suci Al-Qur’an; Kedua, harus ada sekelompok penerima yang bertanya-tanya atau merasa asing terhadap pesan itu, dalam hal ini kaum Muslimin pembaca Al-Qur’an, baik yang berbahasa Arab apalagi yang tidak berbahasa Arab. Pesan-pesan Al-Qur’an harus dijelaskan sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan petunjuk dan pedoman kehidupan mereka; Ketiga, adanya pengantara yang dekat dengan kedua belah pihak. Untuk unsur ketiga ini pengantara paling dekat dengan sumber, Allah SWT, yaitu Nabi Muhammad SAW, sehingga seluruh mufassir menjadikan Rasulallah SAW sebagai rujukan utama dalam menafsirka pesan-pesan Allah.

Dalam terminologi, hermeneutika banyak didefinisikan oleh para ahli. Mereka (para ahli) memiliki definisinya masing-masing. F D. Ernest Schleirmacher mendefinisikan hermeneutika sebaga seni memahami dan menguasai, sehingga yang diharapkan adalah bahwa pembaca lebih memahami diri pengarang dari pada pengarangnya sendiri dan juga lebih memahami karyanya dari pada pengarang. Fredrich August Wolf mendefinisikan, hermeneutika adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang membantu untuk memahami makna tanda-tanda. Sedangkan menurut Martin Heidegger dan Hans George Gadamer bahwa hermeneutika adalah proses yang bertujuan untuk menjelaskan hakikat dari pemahaman.

Pembaca lebih memahami diri pengarang dari pada pengarang itu sendiri. Inilah hal yang tidak mungkin dalam displin tafsir, sebab mufassir tidak akan bisa memahami pengarang, Allah SWT dan tidak bisa memahami Al-Qur’an lebih dari Allah SWT, maka para mufassir sering menulis kata wallahu a’lam bish as-sawaab atau wallahu a’lam bi muraadih di akhir tafsirannya.

Hermeneutika juga bisa dikatakan sebagai cabang dari filsafat dengan adanya perubahan dari “metafisika menjadi hermeneutika”. Hal ini terlihat dari sebuah kritik epistimologi Immanuel Kant. Kritik tersebut ditujukan atas metafisika. Dalam bukunya “Critique of Pure Reason”, Kant mengecam metafisika yang telah berumur lebih seribu tahun yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Menurutnya metafisika hanya melahirkan pengetahuan yang subjektif. Pengetahuan itu dihasilkan atas dasar otoritas suatu konsep berpikir yang menghasilkan ide. Ia menawarkan sebuah terobosan metafisika baru yang berupa hermeneutika. Dengan konsep Logic of Transcendental, bahwa pikiran kita mengumpulkan pengetahuan-pengetahuan yang akhirnya apabila pikiran kita akan memproses suatu pengetahuan maka pengetahuan-pengetahuan yang dikumpulkan oleh pikiran kita akan ikut memproses pengetahuan baru, sehingga hasilnya tidak subjektif melainkan lebih objektif.

            Untuk melihat lebih lanjut mengenai definisi hermeneutika, perlu diuraikan tentang enam definisi modernnya, karena hal ini akan membantu kita untuk mengetahui asal-asul dan perjalanan sejarah hermeneutika, walaupun tidak secara luas dan mendalam.

Hermeneutika Sebagai Teori Eksegesis Bibel (abad ke-17)

Hermeneutika pada awalnya merupakan teori penafsiran Bibel dan hal ini mempunyai justifikasi historis. Hermeneutika merupakan kaidah-kaidah yang terkandung dalam buku-buku interpretasi kitab suci (skriptur). Karya J. C. Dannhauer, Hermeneutica sacra sive methodus exponendarum sacrarum litterarum, yang diterbitkan pada 1654 membenarkan hal ini. Oxford English Dictionary, kamus bahasa Inggris, pun memperkuat hal ini, yang mencantumkan kata hermeneutika sebagai salah satu entrynya tahun 1737 yang berarti: “bersikap bebas dengan tulisan suci, seperti sama sekali tidak diperkenankan menggunakan beberapa kaidah yang kita ketahui dari sekedar hermeneutika seperti apa adanya”.
Pada abad ke-17 hermeneutika sudah menjalar kepada penerapan penafsiran tekstual dan teori-teori interpretasi keagamaan, satra dan hukum. Dari hal ini kiranya senada secara perhitungan waktu atau abad yang disebut “modern”, yaitu semenjak abad ke-15, yang ditandai dengan renaisance, maka abad ke-17 termasuk waktu modern, secara angka tahun.

2.      Hermeneutika Sebagai Metode Filologis (abad ke-18)

Filologi adalah studi tentang budaya dan kerohanian suatau bangsa dengan menelaah karya-karya sastra-nya (atau sumber-sumber tertulis lainnya).[5] Metode filologi digunakan dalam memahami Bibel secara lebih sempurna, karena telah bernjalannya dan berbedanya ruang dan waktu, sehingga membutuhkan usaha yang lebih untuk memahami pesan Bibel, terutama Perjanjian Baru, agar relevan dengan zaman. Hermeneutika Bibel pada hakekatnya adalah definisi lain dari metode filologi, karena kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan sama sekali.

3.      Hermeneutika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik  

Schleirmacher tidak menerima kaidah-kaidah interpretasi sebelumnya begitu saja. Bahkan ia pergi jauh meninggalkannya, karena menurutnya hermeneutika bukan sekedar ilmu, tetapi juga seni memahami. Ia merintis hermeneutika non-disipliner yang sangat signifikan bagi diskusi sekarang, yaitu hermeneutika sebagai studi pemahaman bukan kaidah-kaidah. Hermeneutika ini disebut hermeneutika umum (allgemeine hermeneutik) yang prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai fondasi bagi semua ragam interpretasi teks.

4.      Hermeneutika sebagai Fondasi Metodologi bagi Geisteswissenschaften (abad ke-19)

Mengadopsi ilmu gurunya, Schleirmacher, Dilthey berusaha menerapkan hermeneutika sebagai metode untuk melayani geisteswissenschaften (semua disiplin ilmu yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia). Dia juga mempunyai proyek “kritik nalar historis” yang berbeda dengan filsafat sejarahnya Hegel, karena Dlthey tidak mengklasifikasikan sejarah sebagaimana Hegel, tetapi ia menekankan pada kritik akal sejarah. Pada awalnya proyeknya ini agak tersumbat, karena ia menggunakan analisa psikologis yang bukan merupakan disiplin historis, tetapi dengan hermeneutika ia menemukan sesuatu yang sesuai dalam memperlakukan geisteswissenschaften.

Hermeneutika sebagai Fenomenologi Dasein dan Pemahaman eksistensial (abad ke-20)

Model hermeneutika ini diusung oleh seorang eksistensialis Martin Heidegger yang kemudian diteruskan oleh Hans George Gadamer. Eksistensialisme adalah aliran salah satu aliran filsafat yang mempunyai prinsip darsar “eksistensi mendahului esensi” (existence precedes essence). Apa yang dikatakan eksistensi adalah manusia. Aliran filsafat ini tampaknya sangat berpengaruh padanya. Kebenaran menurutnya adalah menemukan eksistensi. Dia menggambarkan fakta dengan kalimat “alam tidak mungkin ada tanpa adanya aku, atau aku tidak mungkin ada tanpa adanya alam”.[6] Pada intinya, menurut Heidegger, adalah bahwa manusia selalu “membelum” atau belum dan belum meraih eksistensinya. Oleh karena itu, melakukan penafsiran atau interpretasi adalah menemukan dirinya sendiri dalam teks dan tidak ada interpretasi final.

Jadi, fenomenologi dasein (da: di sana, sein: berada), istilah ini digunakan oleh Heidegger untuk menunjuk kepada manusia yang bereksistensi, adalah ilmu tentang fenomena manusia dalam bereksistensi lewat kegiatan menafsirkan. Sedangkan pemahaman eksistensial adalah pemahaman yang didasarkan pada eksistensi manusia, karena manusia selalu membelum, maka tidak ada pemahaman pemahaman final. Pemahaman tersebut akan terus berlanjut sesuai dengan space and time hermeneut.

Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi: Menemukan Makna vs. Ikonoklasme (abad ke-20)
  
Sesuatau yang kita pahami adalah sesuatu yang dilingkupi simbol-simbol. Adalah Paul Ricoeur (1965) yang meneliti lebih lanjut mengenai hal tersebut. Studinya membedakan antara univokal dan equivokal; simbol univokal adalah tanda dengan satu makna yang ditandai, seperti simbol-simbol dalam logika simbol, sementara simbol equivokal adalah fokus sebenarnya dari hermeneutika.[7]
Obyek interpretasinya mulai dari teks dalam pengertian yang luas, yang bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau sastra. Oleh karena itu, dalam menginterpretasi teks dilakukan interpretasi recollective, dan untuk menginterpretasi mitos digunakan teori demitologisasi dan demistifikasi. Untuk lebih mendalam sebaiknya dirujuk bukunya yang berjudul “Symbol of Evil”.

Cara Kerja Hermeneutika

Dalam buku Hermeneutik sebuah Metode Filsafat (Sumaryono,1993:30-33) menjelaskan bahwa dasar dari semua objek itu netral, sebab objek adalah objek. Sebuah meja di sini atau bintang di angkasa berada begitu saja. Benda-benda itu tidak bermakna pada dirinya sendiri. Hanya subjeklah yang kemudian memberi ‘pakaian’ arti pada objek. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek. Jika tidak demikian, maka objek menjadi tidak bermakna sama sekali. Husserl menyatakan bahwa objek dan makna tidak pernah terjadi secara serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek itu netral. Meskipun arti atau makna muncul sesudah objek atau objek menurunkan maknanya atas dasar situasi objek, semuanya adalah sama saja.

 Hermeneutis terhadap Interpretasi Sastra

Bagaimana  dan apa yang terjadi disaat seseorang “memahami” sebuah teks sastra?. Tugas interpretasi dan makna pemahaman berbeda lebih elusif, lebih historis dalam kaitannya dengan karya, dibandingkan dengan sebuah ‘objek’. Sebuah karya selalu ditandai dengan sentuhan manusia, kata ini mengasumsikan hal ini,  karena karya dalam hal ini karya sastra selalu berarti karya manusia (atau Tuhan).
Apa yang dibutuhkan dalam interpretasi sastra adalah penalaran dialektis yang tidak menginterogasi teks tetapi menyediakan sesuatu yang dikatakan pada teks untuk menginterogasi balik, untuk mengajak horizon penafsir kedalam pertanyaan dan untuk melakukan transformasi fundamental pemahaman seseorang terhadap subjek.
Dalam meng-interpretasi sastra, penafsir harus dapat mendengar apa yang tidak dikatakan teks, buatlah pendengar mendengar apa yang sebenarnya dikatakan, buatlah seseorang mendengar apa yang tidak dikatakan tetapi apa yang didapat dalam pembicaraan. Untuk memfokuskan semata-mata pada positivitas dari apa yang dikatakan sebuah teks secara eksplisit adalah untuk menunjukkan ketidakadilan pada tugas hermeneutika
Tiga unsur yang akhirnya menjadi periable utama pada kegiatan manusia dalam memahami dan membuat interpretasi terhadap berbagai hal yakni:

1. tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan pesan yang dibawa Hermes dari dewa Jupiter di gunung Olimpus tadi.

2. perantara atau penafsir (Hermes).

3. penyampaian pesan itu leh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima.
Karya sastra dalam pandangan hermeneutic ialah sebagai objek yang perlu di interprestasikan oleh subjek (hermeneutik)

Agar lebih jelas, konsep dan cara kerja metode dan pendekatan yang telah diuraikan di atas dalam kaitannya dengan karya seni sebagai subjek penelitian sebagai berikut:
a. Mula-mula teks (seni) ditempatkan sebagai objek yang diteliti sekaligus sebagai subjek atau pusat yang otonom. Karya seni diposisikan sebagai fakta ontologi.

b. Selanjutnya, karya seni sebagai fakta ontologi dipahami dengan cara mengobjektivasi strukturnya. Di sini analisis struktural menempati posisi penting.

c. Pada tahap berikutnya, pemahaman semakin meluas ketika masuk pada lapis simbolisasi. Hal ini terjadi sebab di sini tafsir telah melampaui batas struktur.

d. Kode-kode simbolik yang ditafsirkan tentu saja membutuhkan hal-hal yang bersifat referensial menyangkut proses kreatif seniman dan faktor-faktor yang berkaitan dengannya.

e. Kode simbolik yang dipancarkan teks dan dikaitkan dengan berbagai persoalan di luar dirinya menuntut disiplin ilmu lain untuk melengkapi tafsir.

f. Menurut Paul Ricoeur Hermeneutika, Sebuah Cara Untuk Memahami Teks yang pada Akhirnya, ujung dari proses itu adalah ditemukannya makna atau pesan

Secara keseluruhan, dapatlah dinyatakan bahwa hermeneutika memang dapat diterapkan dalam interpretasi sastra. Dalam interpretasi sastra, hermeneutika tidak lagi hanya diletakkan dalam kerangka metodologis, tetapi ia sudah mengikuti pemikiran hermeneutika mutakhir yang berada dalam kerangka ontologis. Ini kaitannya dengan Tiga varian hermeneutika (tradisional, dialektik, dan ontologis).




Demikianlah Artikel Filsafat - Ruang Lingkup Hermeneutika

Sekianlah artikel Filsafat - Ruang Lingkup Hermeneutika kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Filsafat - Ruang Lingkup Hermeneutika dengan alamat link http://demasyuri.blogspot.com/2016/04/filsafat-ruang-lingkup-hermeneutika.html

Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Filsafat - Ruang Lingkup Hermeneutika"

  1. Masih jurang paham. Secara sederhana ruang lingkupnya yg mana ya?

    ReplyDelete
  2. Filsafat - Ruang Lingkup Hermeneutika - Demasyuri >>>>> Download Now

    >>>>> Download Full

    Filsafat - Ruang Lingkup Hermeneutika - Demasyuri >>>>> Download LINK

    >>>>> Download Now

    Filsafat - Ruang Lingkup Hermeneutika - Demasyuri >>>>> Download Full

    >>>>> Download LINK

    ReplyDelete